Ketikaorang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, "Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan." Sufyan menjawab, "Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangkit berdiri karena ilmunya, aku tetap akan berdiri karena usianya.
Abdullahbin Abbas selalu mencoba mendatangi sahabat Nabi untuk menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahuinya, yaitu tentang ajaran Islam dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW. segala kesempatan digunakannya dengan cermat hanya untuk mendapatkan ilmu dari sahabat Nabi yang telah bersama Nabi lebih lama darinya.
Barang siapa yang memperhatikan keadaan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya dia akan mendapati bahwa mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam hal ilmu. Tidaklah mereka meninggalkan sedikit pun perkara yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia melainkan mereka bersegera menanyakannya, wallahul-muwaffiq." Sumber:
Parasahabat mengatakan pembelajaran yang dominan itu adalah akidah dulu. Mereka mengatakan, "Beruntung sekali kita belajar ilmu setelah keimanan." Jadi, Ustadz Muhammadun berpendapat bahwa adab dan ilmu itu dilakukan secara berbarengan atau bersamaan. Ilmu dapat diakses dengan mudah, bagaimana adab terhadap ilmu?
Kisahyang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya.
PentingnyaKeikhlasan dalam Menuntut Ilmu. · Rab 5 Muharram 1444H. Oleh Adam Jogja dan Muh. Naufal Jember, Takmili. Ikhlas merupakan syarat diterimanya ibadah, termasuk dalam menuntut ilmu. Yang mana, menuntut ilmu syar'i adalah jihad yang paling utama di zaman ini. Tapi, seberapa pentingnya ikhlas dalam menuntut ilmu?
Bagipara pencari ilmu. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ulama sekaligus penulis produktif, beliau menghadirkan kisah-kisah menarik tentang perjuangan para manusia shaleh dalam menuntut ilmu, seperti kisah Imam Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari, Hazm Al-Andalusia, Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ibnul
uSUw6T. Kisah Abdullah bin Abbas-Salah satu sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang mulia, Beliau adalah Tinta Ummat, lautan ilmu yang luas, serta fuqoha’ nya sahabat radliyallahu anhum, Imam Tafir. Tiada yang meragukan kedudukan Beliau di sisi Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam begitu pula keluasan ilmunya. Ya, Abdullah bin Abbas dikenal sebagai sahabat didikan Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang paling faham tentang al Qur’an dan yang paling mengetahui rahasia-rahasia al Qur’an. Apa rahasianya? Mari kita ikuti pelan-pelan kisah Abdullah bin Abbas Sang Tinta Ummat. Kami mulai dari.. Nama dan Nasab Abdullah bin Abbas Beliau adalah Abdullah bin al Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al Qurasyi al Hasyimi. Nasab Beliau sangat dekat dengan nasab Baginda Rasulullah shallallhu alaihi wasallam, karna ayahnua al Abbas bin Abdul Muttalib adalah paman Nabi -shallallahu alaihi wasallam. Sehingga bisa dikatakan ia adalah sepupu dari Baginda yang mulia Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wassalam. Sedangkan ibunya adalah Ummu al Fadl Lubanah binti al Harits al Hilaliyah -radliyallahu anha-, saudari Ummul Mu’minin Maimunah binti al Harits al Hilaliyah -radliyallahu anha-. Kisah Kelahiran Abdullah bin Abbas Abdullah bin Abbas dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah, tepatnya saat Bani Hasyim diuji dengan ujian yang berat yaitu pemboikotan oleh kaum Quraisy di Syi’ib atau lembah milik Abdul Muttalib. Ketika sang Ibu melahirkan Abdullah Ia membawanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam, kemudian Beliau mentahniqnya dengan ludah Beliau, sehingga ludah Rasulullah langsung masuk ke dalam mulut Abdullah bin Abbas. Maka Tak heran bila masuk pula ketakwaan serta hikmah yang luar biasa ke dalam pribadi Abdullah. Untaian Do’a dari Insan Termulia Tatkala Abdullah bin Abbas telah menginjak usia tamyiz usia tujuh tahun ia banyak mengiringi Rasulullah -Shalallahu alaihi wassalam- dan bahkan melayani Beliau -shallallahu alaihi wasallam- sehingga Abdullah puas meminum air hikmah yang memancar dari lisan mulia Baginda Rasulullah -Shalallahu alaihi wassalam-. Guru Patut Mendoakannya, Sebagaimana Nabi Mengajarkan... Suatu ketika Abdullah bin Abbas menginap di rumah bibinya Maimunah –radliyallahu anha-, di rumah maimunah Abbas menyiapkan secawan air untuk mandi Rasulullah. Tatkala Rasul hendak mandi, beliau bertanya "Siapa gerangan yang menyiapkan air ini?" Orang-orang yang disekitarnya menjawab, "Abdullah yang menyiapkannya" Lalu mengalirlah untaian doa kebaikan dari mulut mulia Beliau –Shalallahu alaihi wassalam- untuk sang anak berhati mulia Abdullah bin Abbas "Yaa Allah, ajarkan ia Tafsir ayat-ayatmu, serta anugerahkan ia ilmu agama yang mendalam" Berulang kali untaian doa kebaikan mengalir indah dari mulut Baginda –Shalallahu alaihi wassalam- untuk Abdullah –radliyallahu anhuma. Sehingga tak heran bila keberkahan doa ini terus mengalir kepadanya. Mulianya Abdullah bin Abbas Sungguh betapa harum namanya, teramat manis lisan menyebutnya, sebagai imamul mufassirin, sebagai habrul ummah, sebagai faqihul asr, sebagai turjumanil qur’an, dan banyak lagi gelar-gelar mulia yang disematkan kepadanya. Keteladanan dalam Menuntut Ilmu Decak kagum tak terelakkan bila menengok perjalanan menuntut ilmu pemuda ini. Ia kerahkan daya serta upaya untuk memenuhi obsesi yang seakan tak pernah mati. Ilmu yang shahih serta pengetahuan yang sangat tinggi menjadikan obsesi terbesarnya. Otak yang cerdik serta hati yang jernih selalu menemaninya dalam perjalanan menuntut ilmunya. Sejak usia tamyiz umur 7 tahun ia selalu di sisi Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam untuk terus mendulang faidah serta ilmu dari Beliau. Walaupun di usia belia ia ditinggal wafat oleh Rasulullah yaitu di usianya yang ke 13 tahun, ia telah mampu menghafal serta meriwayatkan 1660 hadits dari rasulullah serta menguasai kitabullah beserta tafsir dan rahasia-rahasia yang ada didalamnya yang tak banyak orang memahaminya. Seakan tak percaya.. bila kita hitung kebersamaan ia dengan Rasulullah hanya sekitar 6 tahun, itu pun di usia yang sangat belia. Adakah pencapaian yang lebih unggul?? Lantas, Adakah konsep pendidikan terbaik selain konsep dari Rasulullah? yang telah berhasil mencetak generasi sekualitas Abdullah bin Abbas. Murid yang Menerapkan Konsep Gurunya.. Merasa belum puas dengan pencapaiannya, pemuda ini melanjutkan rihlahnya menuntut ilmu kepada para sahabat senior Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam Dengan kerendahan hatinya ia muliakan para gurunya walaupun ia sendiri adalah orang yang mulia dihadapan mereka. Ia rela memposisikan dirinya dihadapan gurunya sebagaimana seorang budak dihadapan tuannya. Sebagaimana yang terjadi kepada gurunya yaitu Zaid bin Tsabit –radliyallahu anhu- seorang sahabat mulia, sang penulis wahyu, seorang ahli qadha, fiqih, dan ilmu waris.. Ketika Itu Zaid bin Tsabit hendak menunggangi kudanya, lalu Abdullah langsung berdiri dihadapannya memegangi kendali kudanya sebagaimana seorang budak yang berdiri memegangi kendali kuda tuannya saat tuannya hendak menaiki kudanya. Melihat apa yang dilakukan sepupu Rasulullah itu terhadapnya, Zaid bin Tsabit pun merasa sungkan dibuatnya seraya berkata "Tak pantas kau lakukan itu wahai sepupu Rasulullah”, lantas Ibnu Abbas menjawab 'Seperti inilah kami diajarkan untuk menghormati guru', kemudian Zaid pun berkata 'perlihatkan tanganmu kepadaku', lalu Ibnu Abbas memberikan tangannya kepada Zaid, dengan serta merta diciumnyalah tangan Abdullah seraya berujar 'beginilah kami diajarkan menghormati ahlu bait nabi." Di lain waktu, ketika Abdullah mendengar ada satu hadits yang dimiliki oleh salah satu dari sahabat Rasulullah, ia pun mendatanginya pada waktu qoilulah dan sahabat tersebut sedang tidur. Ia bentangkan selendang didepan pintunya kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas selendang tersebut untuk menunggu pemilik rumah membuka pintunya, debu-debu beterbangan di atas tubuhnya tertiup angin panas kota madinah, padahal kalau pun seandainya ia mau mengetuk pintu rumah tersebut niscaya ia akan dibukakan dan dipenuhi hajatnya, akan tetapi ia enggan melakukannya demi menghormati ulama. Tatkala pemilik rumah tersebut bangun dan membuka pintu serta keluar dan melihat keadaan Abdullah yang demikian, maka ia pun berkata kepada Abdullah "Wahai sepupu Rasulullah, mengapa gerangan datang kemari?, tidakkah Engkau kirim surat saja kepadaku agar aku yang datang kepada Engkau?", Abdullah pun menjawab "Aku yang lebih pantas datang kepadamu, ilmu itu didatangi bukan mendatangi". Kemudian ia menanyakan hadits yang dimaksud. Potret indah dari seorang pemuda mulia dalam menuntut ilmu. Sungguh masa muda yang indah, dipenuhi keberkahan serta kemuliaan dalam ketaatan serta kesungguhan dalam menuntut ilmu. Mengingatkan kita akan sebuah hikmah dari lisan baginda tercinta سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ........... و شاب نشأ في عبادة الله، ................ "Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tiada naungan kecuali naunganNya diantaranya pemuda yang tumbuh dalam ibadah serta ketaatan kepada Allah, ........." Kedalaman Pemahaman Abdullah Terhadab Kitabullah dan Kedalaman ilmunya bagai samudra yang luas dan memberikan banyak manfaat kepada manusia. Pemahamannya terhadap kitabullah telah diakui oleh berbagai kalangan, itu terbukti beliau selalu dijadikan rujukan dalam masalah-masalah pelik oleh para Khulafa’ur Rasyidin. Sahabat yang mulia serta Khalifah Rasyidah kedua, Umar bin al Khattab –radliyallahu anhu-, begitu menghormati dan memuliyakannya. Dalam berbagai masalah beliau banyak mendahulukan pendapat Abdullah bin Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat yang lain yang lebih lama menemani Rasulullah, sehingga tak elak bila sebagian dari sahabat muhajirin bertanya-tanya ada apa gerangan sang khalifah selalu mendahulukan pendapat pemuda ini dibanding sahabat-sahabat senior Rasulullah yang kala itu masih hidup dan tak diragukan kedekatan mereka dengan Rasulullah. Maka Khalifah Umar mengumpulkan mereka, untuk menunjukkan pada mereka kelebihan Ibnu Abbas. di antara mereka terdapat pula sahabat-sahabat yang mengikuti perang badar. Sang Khalifah pun bertanya kepada mereka, "Adakah yang berkomentar tentang firman Allah-subhanahu wata’ala- surat An Nashr?" إذا جاء نصر الله و الفتح Angkat bicaralah sebagian mereka, "Allah memerintahkan Nabi-Nya tatkala melihat manusia berbondong-bondong masuk islam untuk memuji serta beristighfar kepada-Nya" Tak puas dengan jawaban ini Sang Khalifah berkata kepada Ibnu Abbas "Wahai Putra Abbas, bicaralah!". Maka Ibnu Abbas pun angkat bicara, "Yang aku fahami dari surat ini adalah pertanda dekatnya ajal Baginda Rasulullah, maka Allah perintahkan untuk banyak bertahmid serta beristighfar" Sungguh mencengangkan mata yang memandang, begitu dalamnya pemahaman sepupu Rasulullah ini terhadap al Qur’an. Tatkala datang kemenangan-demi kemenangan, pembukaan demi pembukaan, serta manusia berbondong-bondong untuk memeluk agama ini, pertanda bahwa tugas Baginda Rasulullah telah selesai dan telah dekat ajal Beliau. Peran Abdullah bin Abbas pada Ali bin Abi Thalib Tak hanya secara dzahir dikuasainya al Qur’an, tak luput pula dari pemahamannya mengenai rahasia-rahasia yang terkandung dalam untaian ayat-ayat al Qur’an. Kuatnya Hujjah Abdullah bin Abbas Tatkala terjadi perselisihan antara Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah -semoga Allah meridloi keduanya-, hingga terjadi perang Shiffin yang diakhiri dengan peristiwa tahkim atau arbitrase, sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib tak menghendaki adanya tahkim ini, bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena peristiwa itu. Orang-orang tersebut keluar dari barisan Ali –radliyallahu anhu-, maka mereka disebut kaum khawarij. Begitu mudah kaum ini menyematkan vonis kafir kepada seorang muslim hanya karena masalah sepele yang terkadang mereka tak fahami. Sehingga mereka kafirkan menantu Rasulullah ini dengan sebab setuju dengan tahkim. Mereka telah bersiap-siap memerangi Ali bin Abi Thalib. Maka tergerak hati Ibnu Abbas untuk mendatangi kaum khawarij guna mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Maka Ibnu Abbas pun menemui Ali bin Abi Thalib guna meminta izin untuk mendatangi mereka, seraya berkata "Wahai Amirul Mu’minin, izinkan aku untuk mendatangi kaummu yang berbelot?" Ali pun menjawab "Sungguh aku khawatir dengan keselamatanmu dari kejahatan mereka". Maka Ibnu Abbas menjawabnya dengan penuh keyakinan "InsyaAllah tidak ada yang perlu untuk dikhawatirkan" Maka pergilah Ibnu Abbas mendatangi kaum pembelot itu. Sungguh tiada kaum yang lebih giat ibadahnya selain mereka. Terlihat pipi mereka cekung, jidat mereka menghitam karena lamanya sujud. Tatkala mereka mengetahui kedatangan Ibnu Abbas, mereka pun menyambutnya seraya berkata Wahai putra Abbas, ada apa gerangan engkau kemari? Ibnu abbas pun menjawab "Maukah kalian menyimak ucapan saya?" Maka sebagian mereka berseru "Jangan dengarkan ucapannya". Sebagian lain berkata "Berucaplah!, kami akan mendengarkan" Ibnu Abbas pun memulai bicaranya seraya berkata "Beritahukan kepadaku yang tidak kalian sukai dari sepupu Rasulullah, suami dari putri tercinta beliau serta orang yang pertama memeluk islam?" Mereka pun menjawab "Tiga kesalahan yang tak kami ridloi. Adapun kesalahan pertama ialah bahwa ia mengangkat seseorang guna memberi putusan dalam agama Allah, kedua ia berperang melawan Aisyah dan muawiyah tanpa sedikitpun mengambi ghanimah serta menawan mereka, dan yang ketiga ia telah melepaskan gelar Amirul Mu’minin padahal kaum muslimin telah berbaiat kepadanya." Satu persatu dipatahkan argumen lemah mereka. Beliau berkata "Bagaimana bila ku bacakan beberapa ayat dari kitabullah dan hadits Rasulullah yang tak dipungkiri kebenarannya, apakah kalian akan menarik kembali ucapan kalian?, mereka menjawab "Baiklah", maka Ibnu Abbas melanjutkan bicaranya "Adapun perkataan kalian bahwa Ali mengutus seseorang guna memberikan putusan dalam agama Allah, maka Allah berfirman ياأيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد و أنتم حرم، و من قتله منكم متعمدا فجزاء مثلما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم "wahai orang-orang yang beriman jangan kalian membunuh binatang buruan ketika sedang ihram. Barang siapa diantara kalian membunuh dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan yang ddibunuh, menurut putusan dua orang adil diantara kalian". [al Ma’idah 95] Aku atas nama Allah, apakah putusan orang yang menjaga darah dan jiwa mereka serta memperbaiki hubungan diantara mereka lebih baik dari putusan mereka terhadap kelinci yang hanya seharga 4 dinar?" Mereka pun menjawab "Tentu yang lebih baik adalah putusan orang yang menjaga pertumpahan darah kaum muslimin dan menjaga hubungan diantara mereka" Ibnu Abbas pun bertanya "Apaka kita telah sepakat dalam masalah ini?" Mereka menjawab "Yaa, kita sepakat" Abdullah bin Abbas berkata "Adapun ucapan kalian bahwa Ali melakukan perang namun tidak menjadikan Aisyah sebagai tawanan sebagai mana Rasulullah selalu menjadikan tawanan para wanita musuh. Apakah kalian ingin menjadikan ibu kalian sebagai budak yang dapat kalian gauli layaknya budak wanita??, kalau kalian mengatakan iya’ berarti kalian telah kafir, jika kalian mengatakan beliau bukan ibu kalian kalian pun telah kafir, Allah berfirman النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم، و أزواجه أمهاتهم "Nabi lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri-diri mereka, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka" [al Ahzab 6], Pilihlah mana yang lebih kalian sukai” Ibnu abbas pun melanjutkan ucapannya, "Apakah kita sepakat dalam masalah ini?"mereka pun menjawab "Yaa, kita telah sepakat" Ibnu Abbas berkata lagi "Sedangkan ucapan kalian bahwa Ali melepaskan gelar Amirul Mu’minin , sebagai jawabannya adalah ketika perjanjian Hudaibiyah Rasulullah meminta untuk menuliskan pada perjanjian damai 'Inilah yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah' mereka berkata 'Kalau kami percaya Engkau adalah Rasulullah kami tak akan menghalangi kalian kebaitullah dan tak akan memerangi kalian', maka Rasulullah berkata 'Demi Allah aku adalah Rasulullah meski kalian mendustakan'. Maka perjanjian damai ditulis tanpa menyematkan kata rasulullah" Ibnu Abbas pun bertanya "Apa kita telah sepakat?" Mereka menjawab "Yaa kami telah sepakat" Maka buah dari kepiawaian Ibnu Abbas dan hikmah serta kedalaman ilmu beliau, kembalilah 20 ribu orang dari mereka kejalan yang benar, tinggal tersisa 4 ribu orang yang tetap keras kepala diatas kesesatan mereka. Kisah Wafatnya Abdullah bin Abbas Sudah 71 tahun Abdullah –radliyallahu anhuma- hiasi dengan ilmu, hikmah, dan ketaqwaan. Beliau warnai dunia dengan ilmu yang bermanfaat. Rumah beliau ibarat sebuah universitas yang tak pernah sepi dari para penuntut ilmu. Sehingga tak heran bila wafat beliau menorehkan duka dihati kaum muslimin., karena mereka telah kehilangan lautan ilmu dan hikmah yang tiada terukur kedalamannya. Ketika beliau wafat, Muhammad bin al Hanafiyah memimpin shalat jenazahnya bersama para sahabat yang masih taersisa dan para pembesar tabiin. Tatkala beliau hendak dimakamkan datang burung putih dan besar kemudian masuk ke kafan beliau dan tidak terliha keluar lagi. Dan ketika beliau telah dikuburkan, terdengar suara dari dalam kuburnya bacaan al qur’an surat al Fajr ayat 27 يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepangkuan rabmu denga ridza dan diridzai" Sungguh akhir hidup yang mulia. Akhir hidup yang didambakan semua insan. Akhir hidup yang khusnul khatimah. Sungguh Allah ridla kepadanya dan ia ridla kepada Allah. Tambahan Kesimpulan dan data dari hasil sentuhan nabi Abdullah bin Abbas yang lain adalah 10 kenabian - 68 H Mendapat doa dari Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam Meriwayatkan 1660 Hadits Umar menyebutnya sebagai remaja yang tua karna ilmunya Umar memanggil Abdullah bin Abbas bersama para sahabt senior lainnya untuk memcahkan masalah-masalah besar Menyadarkan 20 ribu khawarij dalam satu majelis Menjadi gubernur Basrah pada masa Ali "Dengan demikian, untuk menumbuhkan generasi yang menghasilkan poin di atas, kita perlu melihat 2 sudut cara Abdullah bin Abbas belajardan Seperti apa Konsep pendidikan nabi yang diajarkan Abdullah bin Abbas" Penulis Mursyidul Muhsiniin Referensi Suwar min hayat as shahabah karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya Siyar min a’lam an nubala’ karya imam ad dzahabi Tag Hafalan Nama lengkap Abdullah Abdullah bin al Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al Qurasyi al Hasyimi. Abdullah bin Abbas Lahir pada 10 kenabian di tahun pemboikotan dan meninggal pada 68 H Menyadarkan 20 ribu orang Menghafal 1660 Hadits nabi Salah satu gurunya adalah Zaid bin Tsabit RPA Apa RPA? > Baca Bonus Abana RPA dan TAG HAFALAN Orangtua langsung peraktek mendoakan anaknya atau muridnya sebagaimana Rasulullah mendoakan Abdullah bin Abbas Orangtua menyebutkab bagaimna Abdullah belajar dan menghormati gurunya serta mempunyai adab yang sangat bagus Orangtua anak untuk menteladani seluruh kehidupan Abdullah bin Abbas Anda Senang dengan kisah kisah redaksi kami seperti, Kisah Abdullah bin Abbas Sang Tinta Ummat, share!
Kalimat tauhid adalah dasar agama dan asas segala kesempurnaan. Tanpa tauhid, seluruh amalan akan tertolak. Oleh sebab itu, terutama pada masa permulaan islam, para sahabat Rasulullah lebih banyak bersungguh-sungguh dalam mendakwahkan kalimat tauhid dan sibuk berjihad melawan orang kafir, sehingga mereka belum sempat mencurahkan perhatian khusus terhadap ilmu. Walaupun demikian, semangat, gairah, serta kesungguhan mereka telah menghasilkan inti-inti ilmu Al-Qur’an dan Hadits, yang masih terpelihara walaupun 1400 tahun berlalu. Ini merupakan bukti yang jelas, setelah zaman permulaan Islam berlalu, ketika datang kemudahan bagi mereka, dan jamaah-jamaah yang berdakwah semakin bertambah, maka turunlah ayat yang artinya “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” QS At-Taubah 122 Abdullah bin Abbas berkata bahwa dalam QS At-Taubah 39 “ jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” Telah diketahui dari ayat diatas, bahwa Allah mengaruniakan kepada para sahabat rasulullah bahwa kesatuan jamaah saat itu sangat penting. Selain itu, ada satu jamaah kecil yang mempelajari seluruh ajaran agama. Pada zaman tabi’in, islam telah tersebar luas dan menjadi sebuah jamaah besar dan merupakan kesatuan yang kokoh. Karena pada diri tabi’in, tidak terdapat kesatuan seperti pada diri sahabat, maka Allah telah menghidupkan orang-orang yang khusus mempelajari bidang agama. Maka muncullah muhadditsin, yaitu jamaah khusus yang menyusun hadits-hadits dan menyebarkannya. Lalu para fuqaha, yakni ahli fikih, ahli sufi, dan ahli Al-Qur’an dan para mujahidin. Singkatnya, disetiap bidang Allah telah mewujudakan para ahli yang memeliharanya. Hal itu sangat sesuai dan penting pada masa itu. jika tidak, maka sangat sulit untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan dibidang agama karena sangat sulit bagi seseorang mencapai kesempurnaan dan kemuliaan dalam segala hal. Allah hanya mengaruniakan kesempurnaan tersebut hanya pada Nabi khususnya pada Rasulullah. Dalam kaitan ini, juga terdapat kisah sahabat dan tokoh-tokoh lainnya. 1. Kisah Para Sahabat Rasulullah Ahli Fatwa Walaupun para sahabat sibuk berjihad demi menegakkan kalimatullah, semangat mereka dalam menuntut ilmu selalu ada. Setiap kali mereka mendapat suatu kebaikan, mereka akan segera menyebarkannya. Demikianlah kesibukan mereka setiap saat. Namun diantara mereka ada jamaah khusus yang berfatwa ketika Rasulullah masih hidup, diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, Salman Al Farisi, Zaid bin Tsabit, Hudzaifah, Abu Musa, Adu Darda’ radhiyallahu anhum. Talqih Faedah Mereka Telah mencapai kesempurnaan ilmu sehingga diizinkan berfatwa ketika Rasulullah sallahu a’laihi wasallam masih hidup. 2. Kisah Abu Bakar Membakar Kumpulan Hadits Aisyah berkata “ayahku, Abu Bakar memiliki catatan berisi 500 hadits yang dikumpulkan. Pada suatu malam, aku melihatnya sangat gelisah dan berbaringmembolak-balikkan badannya. Aku bertanya “apakah engkau sakit, atau ada seuatu hal yang membebanimu pikiranmu ?” namun pada malam itu, ia tetap gelisah dan cemas. Keesokan harinya, ia bertanya padaku, “dimanakah catatan hadits ku yang pernah kuberikan padamu ?” aku pun mengambilnya dan memberikan padanya. Ternyata beliau membakar catatan itu. aku bertanya “mengapa dibakar?” ia menjawab “aku ragu jika ada kekhilafan lalu aku meninggal, sedangkan catatan ini masih ada padaku. Jika sampai ketangan orang lain, lalu mereka menganggapnya muktabar dipercaya, padahal tidak dan ternyata dalam catatan ini ada kesalahan, tentu itu akan mencelakakanku. Tadzkiratul Huffadz Faedah Walaupun Abu Bakar memiliki kedalamn dan semangat ilmu yang tinggi sehingga dapat mengumpulkan 500 hadits dalam catatannya, ia membakarnya karena kehati-hatiannya yang sempurna. Hal ini terjadi pula pada sahabat-sahabat yang lain, mereka sangat hati-hati dengan hadits Rasulullah. Oleh karena itu, sebagian besar sahabat rasulullah hanya meriwayatkan sedikit hadits. Ini pula yang menyebabkan mengapa Imam Abu Hunaifah sangat sedikit meriwayatkan hadits. 3. Kisah Abdullah bin Abbas dalam Menuntut Ilmu Abdullah bin Abbas bercerita “setelah wafat rasulullah, aku berkata kepada seorang Anshar, Nabi telah meninggalkan kita, tetapi sahabat masih banyak yang hidup diantara kita. Mari kita temui mereka untuk bertanya dan menghafalkan kembali urusan agama.” Namun sahabat Anshar tidak bersedia atas ajakan Abdullah bin Abbas. Lalu Abdullah bin Abbas berkata “dan kebanyakn ilmu yang aku dapatkan adalah darikaum Anshar, dan aku akan menjumpai beberapa orang sahabt dan menanyakannya. Jika ku dengar mereka sedang tidur di rumahnya maka, aku akan menghamparkan kain untuk duduk sambl menunggu di depan rumahnya, sehingga muka ku penuh dengan debu, dan tubuhku sangat kotor. Setelah ia bangun, aku bertanya kepadanya mengenai masalah yang terjadi dan mengenai maksud kedatanganku.” Namun sebagian besar berkata “Engkau adalah keponakan Rasulullah, mengapa engkau menyusahkan diri untuk datang kemari, mengapa engkau tidak memanggilku ?” Jawabku “Aku sedang menuntut ilmu, jadi akulah yang wajib mendatangimu.” Faedah Dari cerita diatas, selain dapat diketahui tentang ketawajuhan dan kerendahan hati Ibnu Abbas terhadap gurunya, juga dapat diketahui akan ketinggian semangat serta perhatiannya terhadap ilmu. Apabila ia, mendengar hadits yang tersimpan pada seseorang, ia akan langsung mendatanginya dan mempelajarinya, walaupun harus berusaha keras dan bersusah payah. Tanpa usaha dan susah payah, sesuatu yang sepele tidak akan didapat, apalagi ilmu yang tidak ternilai harganya. “Barang siapa mencari derajat ketinggian Hendaklah ia berjaga pada waktu malam..”
Para ulama dari generasi terdahulu salaf menunjukkan contoh yang luar biasa dalam mencari ilmu. Di tengah keterbatasan, mereka tidak menyerah. Tekadnya tidak tergoyahkan untuk belajar agama Islam. Seperti dinukil dari kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari, kesungguhan dalam menuntut ilmu ditunjukkan Jabir bin Abdullah. Pada suatu kali, ia amat tertarik pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka dari abad pertama Hijriyah itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Rasulullah SAW itu. Sayangnya, sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis tersebut telah hijrah dari Jazirah Arab dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz. Bagaimanapun, periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Jabir adalah satu dari sekian banyak contoh, betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Dalam hal ini, sang alim merasa bertanggung jawab untuk menemukan kebenaran dari sebuah hadis yang didengarnya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tanya Abu Ghaddah retoris dalam karyanya itu. Ia pun melakukan penelusuran. Berdasarkan pembacaannya, banyak kisah kegigihan ulama salaf yang membuatnya takjub. Mereka sangat inspiratif. Rela bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq. Ulama ini menuturkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada sang guru yang bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, pada masa dirinya sebagai murid sering kali ia tak tidur pada malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber-muzakarah ketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan subuh. Ada pula kisah Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawaban, dia mendatangi Malik bin Anas tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Bahkan, pernah suatu kali karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim tidak menyadari bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meninggalkan rumah, tidak seperti kamu yang asyik tertidur!” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini memilukan hati Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascamusibah tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu, al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberikan uang sebesar dinar kepada Ibnu Lahiah. Namun, seperti halnya pandangan para ulama, uang dalam nominal berapapun tak dapat menggantikan catatan-catatan ilmu yang telah lenyap.
Imam Yahya bin Yahya menceritakan percakapan pertamanya dengan guru tercintanya Imam Malik bin Anas RA 711 M-795 M/90 H-174 H pendiri Mazhab Maliki. Ia mengisahkan percakapan pertamanya dengan Imam Malik RA yang memberikan kesan bagi perjalanan intelektualitasnya. Imam Yahya bin Yahya wafat 848 M adalah ulama asal Andalusia yang berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia kemudian membawa dan mengembangkan mazhab Maliki di Andalusia. Ia juga periwayat Kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Ia merupakan ulama besar generasi awal Mazhab Maliki. "Siapa namamu, wahai anak muda?" tanya Imam Malik RA saat Imam Yahya remaja menghadiri pertama majelis ilmu gurunya untuk menuntut ilmu. "Semoga Allah memuliakanmu wahai guruku. Namaku Yahya," jawabnya. Ia saat itu adalah santri termuda Imam Malik RA. "Semoga Allah menghidupkan hatimu. Kamu harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah yang dapat membakar semangatmu dalam menuntut ilmu dan mengalihkan perhatianmu dari aktivitas lainnya," kata Imam Malik RA. Imam Malik RA memulai kisahnya. “Suatu hari seorang remaja asal negeri Syam tiba di Kota Madinah. Kurang lebih seusia denganmu. Ia menuntut ilmu kepada kami dengan giat dan sungguh-sungguh. Dalam usia yang begitu belia Allah memanggilnya. Ia wafat. Aku belum pernah melihat kondisi jenazah yang begitu eloknya di Kota Madinah ini.” Almarhum tidak lain adalah salah seorang wali Allah. Ulama Madinah berkumpul untuk menshalatkan jenazahnya. Masyarakat pun ikut berduyun untuk mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika tahu akan antusias dan pernghormatan ulama dan masyarakat yang begitu besar, gubernur Madinah menahan pelaksanaan shalat jenazahnya. “Pilihlah orang yang paling kalian sukai,” perintah gubernur. Ulama Madinah mengajukan nama Imam Rabiah. Imam Rabiah, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id, Ibnu Syihab, termasuk ulama yang paling dekat dengan mereka, Muhammad Ibnu Munkadir, Shafwan bin Salim, Abu Hazim, dan ulama terkemuka lainnya menurunkan jenazah ke liang lahat. Imam Rabi’ah menyusun batu bata pada lahatnya. Mereka memberikan batu bata tersebut kepadanya. Tiga hari setelah pemakamannya, salah seorang yang terkenal sebagai wali Allah di Kota Madinah, kata Imam Malik kepada Yahya remaja, bermimpi melihat almarhum sebagai remaja yang berpenampilan dan berpakaian putih elok sekali. Almarhum mengenakan serban hijau dan menunggang kuda kelabu yang sangat bagus. Ia turun dari langit dan menuju kepada sang wali. Ia mengawali percakapan dengan salam. “Derajatku yang tinggi ini bukan didapat dengan berkah ilmu,” kata remaja belia tersebut. “Lalu apa yang mengantarkanmu ke derajat yang begitu mulia ini?” tanya wali Allah. “Allah memberikanku satu derajat yang begitu tinggi di surga atas setiap bab dalam satu disiplin ilmu yang kupelajari. Namun demikian, derajat-derajat yang begitu tinggi itu tetap tidak membuatku sederajat dengan para ulama. Tetapi Allah yang maha pemurah berkata kepada malaikat, Tambahkan derajat itu kepada ahli waris para nabiku. Aku telah menetapkan dalam diri-Ku bahwa siapa saja yang wafat dalam kondisi memahami sunnah-Ku dan sunnah para nabi-Ku, atau dalam keadaan menuntut ilmu terkait dengannya, niscaya Kukumpulkan mereka dalam satu derajat yang sama.’” “Allah menganugerahkan kepadaku hingga aku meraih derajat para ulama. Aku dan Rasulullah hanya terpaut dua derajat. Pertama adalah derajat di mana ia bersama para nabi tinggal. Kedua adalah derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW dan sahabat para nabi yang menjadi pengikut nabi-nabi di zamannya masing-masing. Di bawah itu adalah derajat ulama dan para santri mereka.” Allah menjalankanku hingga ke tengah halaqah mereka. Mereka menyambut dengan antusian, “marhaban, marhaban.” “Bagaimana Allah memberikan tambahan derajat-Nya untukmu?” tanya wali Allah. “Allah berjanji untuk mengumpulkanku bersama para nabi sebagaimana kusaksikan mereka pada rombongan yang sama. Aku bersama mereka hingga hari kiamat tiba. Bila hari kiamat yang dijanjikan tiba, Allah berkata, Wahai sekalian ulama. Inilah surgaku. Kuizinkan surga ini untuk kalian. Inilah ridha-Ku. Aku telah meridhai kalian. Jangan kalian masuk surga terlebih dahulu sebelum berdiam untuk memberikan syafaat kepada siapa saja yang kalian kehendaki. Aku juga memberikan mandat agar kalian memberikan syafaat kepada mereka yang meminta syafaat kalian agar aku dapat memperlihatkan kepada semua hamba-Ku betapa tinggi kemuliaan dan kedudukan kalian,’” jawab remaja tersebut. Ketika pagi hari, orang yang dikenal wali Allah ini terjaga. Ia menceritakan mimpinya hingga akhirnya kabar tersebut menyebar luas ke seantero Kota Madinah. Kepada Yahya remaja, Imam Malik RA mengatakan, “Dulu di Kota Madinah ini terdapat sekelompok santri-santri yang gemar menuntut ilmu. Seiring waktu semangat mereka dalam menuntut ilmu mengendur hingga berhenti sama sekali. Setelah mendengar kabar dari wali Allah tersebut, mereka kembali menuntut ilmu dengan semangat dan sungguh-sungguh. Mereka itu kemudian yang kamu kenal hari ini sebagai ulama-ulama terkemuka di Kota Madinah. Wahai Yahya, bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini.” * Kisah ini diangkat oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya Indonesia, Al-Haramain Jaya tanpa tahun, halaman 63-64. Wallahu a’lam. Alhafiz Kurniawan
Abdullah bin Abbas atau yang akrab disapa Ibnu Abbas adalah satu di antara sahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yang memilki kecerdasan serta keilmuan yang luas dalam memahami Islam. Hal itu ia peroleh lantaran kesehariannya yang selalu lekat dihiasi dengan pengabdiannya kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Kepadanya Nabi pernah berdoa “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu.” Hidup bersama Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah. Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan shalat. Ia segera mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya. Demikianlah Ibnu Abbas yang sejak kecil selalu menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu Islam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah. Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, berumur 13 tahun. Namun, kesungguhannya dalam menuntut ilmu mampu melampaui masa pada usianya. Karakter pribadinya yang sungguh-sungguh, tekun, dan cinta terhadap ilmu itu berdampak besar terhadap kehidupan Ibnu Abbas. Ia pun tumbuh menjadi sosok yang alim dan kerap menjadi rujukan dalam hal agama. Sepeninggal Rasulullah, girahnya terhadap ilmu tak menyurutkan semangat Ibnu Abbas untuk mendatangi para sahabat senior guna mendengar langsung hadis dari Nabi Shallallahu alihi wa sallam. Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke pintu lain, dari rumah-rumah para sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan rumah mereka, karena para sahabat tengah istirahat. Namun betapa terkejutnya mereka begitu melihat Ibnu Abbas tidur di depan pintu rumah. “Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tidak kami saja yang menemuimu?” kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas di depan rumah mereka. “Tidak, akulah yang mesti mendatangi Anda,” jawabnya. Demikianlah kehidupan Abdullah bin Abbas, hingga kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Karena tingginya dan tak berimbang dengan usianya, ada yang bertanya tentangnya. Abdullah bin Abbas bercerita, “Suatu saat Rasulullah ﷺ hendak berwudhu. Lalu aku segera menyiapkan air untuk Beliau sehingga Beliau senang dengan apa yang aku lakukan. Tatkala Beliau hendak melakukan shalat, Beliau memberikan isyarat kepadaku supaya aku berdiri di sampingnya, dan aku pun berdiri di belakang Beliau. “Begitu shalat usai, Beliau menoleh ke arahku dan bersabda “Mengapa engkau tidak berdiri di sampingku, ya Abdullah?” Aku menjawab “Engkau adalah manusia terhormat dalam pandanganku dan aku tidak pantas berdiri di sampingmu.” Kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdo’a “Ya Allah, berikanlah kepadanya hikmah!” Allah telah mengabulkan doa Nabi-Nya ﷺ sehingga Allah memberikan pemuda Al Hasyimi ini sebagian hikmah yang mengalahkan kehebatan para ahli hikmah terbesar. Pemuda bernama Abdullah bin Abbas ini telah menempuh semua jalan dan mengeluarkan segala kemampuannya untuk mendapatkan ilmu. Ia telah meminum air wahyu dari Rasulullah ﷺ selagi Beliau hidup. Begitu Rasulullah ﷺ kembali ke pangkuan Tuhannya, maka Ibnu Abbas belajar langsung dengan para ulama sahabat. Sebagaimana Abdullah bin Abbas menghinakan dirinya saat menuntut ilmu, ia juga tak ragu untuk memulyakan derajat ulama. Dikisahkan ketika Zaid bin Tsabit sang penulis wahyu dan pemuka Madinah dalam urusan qadha, fiqih, qira’at dan al faraidh hendak menunggangi kendaraannya, berdirilah pemuda Al Hasyimi bernama Abdullah bin Abbas dihadapannya seperti berdirinya seorang budak di hadapan tuannya. Ia memegang kendali tunggangan tuannya. Zaid berkata kepada Ibnu Abbas “Tidak usah kaulakukan itu, wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab “Inilah yang diajarkan kepada kami untuk bersikap kepada para ulama!” Zaid lalu berkata “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Abdullah bin Abbas lalu menjulurkan tangannya. Lalu Zaid mendekati tangan tersebut dan menciuminya seraya berkata “Demikianlah, kami diperintahkan untuk bersikap kepada ahlu bait Nabi kami.” Abdullah bin Abbas telah menempuh perjalanan dalam menuntut ilmu yang dapat membuat unta jantan tercengang. Masruq bin Al Ajda’ salah seorang tabi’in ternama berkata tentang diri Ibnu Abbas “Jika aku melihat Ibnu Abbas, menurutku dia adalah manusia yang paling tampan. Jika ia berkata, maka menurutku ia adalah orang yang paling fasih. Jika ia berbicara, menurutku ia adalah orang yang paling alim.” [] Sumber Kisah Heroik 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW/Penulis Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya- Penerbit Darul Adab al-Islami/Penerjemah Bobby Herwibowo, Lc – PT. Kuwais International, Jl. Bambu Wulung No. 10, Bambu Apus Cipayung, Jakarta Timur 13890 – Telp. 84599981
kisah para sahabat dalam menuntut ilmu